Aku berjalan cepat menyusuri jalan setapak di samping gedung perkantoran yang akan kudatangi. Parkiran dihalaman kantor itu penuh hingga aku harus memarkir di jalanan seberang.
"Sudah pukul 14.15, janjian meeting dengan klienku kurang 15 menit lagi," batinku sambil melirik gelisah pada jam di tangan kiriku. Aku paling benci telat.
Tiba-tiba, bruk, kaki kiriku tersandung sesuatu, tas kerjaku terjatuh namun untungnya aku masih sempat menyeimbangkan tubuhku sehingga tidak sampai terjatuh.
Dengan cepat, aku menoleh ke sebelah kiri ketika mendengar suara mengaduh. Seorang anak lelaki kecil tampak kesakitan berusaha bangkit berdiri, ia menatapku dengan pandangan mata ketakutan sambil berkata lirih, "Maafkan aku Tuan".
Wajahnya coklat berkeringat, tampak rona kelelahan dan ketakutan terpancar diwajahnya.
Ternyata anak kecil inilah penyebab aku tersandung. Sepertinya dia sedang duduk di pinggir jalan setapak itu saat aku lewat, dan karena terburu-buru aku tidak melihatnya.
Aku menatap tajam pada anak itu, rasanya ingin memarahinya karena menyebabkan aku tersandung dan tas kerja mahalku menjadi lecet. Waktuku juga semakin sempit.
Namun setelah memperhatikan pakaiannya yang lusuh dan tubuh kecilnya yang terlihat kotor, aku mengurungkan niat untuk menegurnya. Dengan tergesa aku memungut tas kerjaku lalu kembali berjalan mengejar waktu menuju kantor klienku.
Aku terus berjalan, namun tiba-tiba pandangan mata anak itu muncul dipikiranku, aku berusaha menepisnya tapi pandangan mata itu terus menggangguku. Dengan penasaran aku menoleh kebelakang, dan tampak olehku anak itu kembali duduk dipinggiran jalan.
Aku menghela nafas panjang dan memutuskan menghampiri anak kecil itu, lalu bertanya padanya dengan pelan, "Apa yang kamu lakukan di sini?".
Anak itu menengadahkan wajahnya dan menjawab, "Sedang beristirahat Tuan".
"Seharian saya mengumpulkan barang-barang bekas" lanjutnya.
"Kenapa kamu tidak pulang ke rumahmu?" tanyaku lagi.
"Saya tidak punya rumah Tuan, saya tinggal di tempat penampungan, saya masih harus mengumpulkan barang-barang bekas lagi sebelum gelap." urainya.
Aku berjongkok dan tanpa ragu memegang tangannya yang kotor dan mengajaknya berdiri.
"Kamu pasti belum makan, ayo kita cari tempat makan." ajakku padanya.
Dia lalu berdiri, menatapku dengan tidak percaya, lalu berjalan di sampingku sambil memegang kantung plastik hitam yang berisi barang-barang yang berhasil dikumpulkannnya hari ini.
"Biarlah meeting hari ini tidak jadi," batinku sambil melirik anak kecil itu yang terus berdiam diri.
Kami menemukan sebuah warung, dan selanjutnya anak itu makan dengan lahapnya di hadapanku.
Sesekali aku bertanya tentang kehidupannya. Setelah menghabiskan makanannya, wajahnya mulai tampak segar.
Anak itu lalu berdiri dan menari kursinya mendekat padaku.
Dia lalu berbisik," Tuan, apakah Tuan seorang malaikat?".
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" aku balik bertanya.
"Tadi aku sangat kelaparan, sehingga tidak dapat berjalan, makanya aku duduk di pinggiran jalan. Aku bilang pada Tuhan bahwa aku sangat lapar." jelas anak itu.
Aku tertegun mendengar penjelasannya.
Saat itu juga aku mengucap syukur dalam hati pada Tuhan, yang telah memberi kesempatan bagiku untuk menjadi tangan kanan-Nya menolong anak kecil ini. Seorang anak kecil yang harus berjuang menghadapi kerasnya kehidupan, yang setiap hari seringnya hanya dapat makan 1 kali sehari.
Aku juga bersyukur karena memilih untuk mendengarkan kata hatiku, mendahulukan anak ini di bandingkan bertemu klien.
Terima kasih, Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar