"Setiap manusia memiliki waktu yang sama, tapi pengaturannyalah yang menentukan
apakah ia dapat memiliki moment-moment berharga dengan Tuhan,
keluarga, sahabat, pekerjaan, dan orang lain dari waktunya yang ia miliki."
Delapan tahun yang lalu saya berkenalan dengan seorang ibu di salah satu komunitas bisnis.Beliau seorang wanita biasa yang berusia hampir 50 tahun, setengah dari usia saya, namun mau belajar berbisnis untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tidak lama kemudian kami menjadi akrab dan sering melakukan kegiatan bisnis bersama, bahkan hingga ke luar kota. Hampir setiap hari kami melakukan aktifitas bersama, kami saling menolong dan sering berbagi satu sama lain. Saking dekat dan akrabnya kami dijuluki anak dan ibu oleh rekan-rekan lain. Suami dan anak-anak beliau pun menerima saya dengan baik, suatu hal yang tentu saja memberi arti yang mendalam bagi saya dan semakin menumbuhkan rasa sayang saya pada beliau.
Dalam kurun waktu beberapa tahun, bisnis kami masing-masing mengalami perkembangan yang pesat. Dari kehidupan dengan kondisi ekonomi yang biasa-biasa saja, ibu itu berhasil mengubah kehidupan keluarganya menjadi jauh lebih baik, begitu pula dengan saya.
Namun karena tingkat kesibukan yang semakin tinggi, lama kelamaan kami jadi jarang bertemu, bahkan kemudian saya benar-benar lost contact dengan beliau. Saat itu saya memang memilih konsentrasi penuh untuk mengembangkan jaringan bisinis saya hingga ke luar pulau.
Suatu ketika saya mendengar kabar, beliau masuk rumah sakit karena penyakit diabetes, saya ingin sekali mengunjungi beliau tapi jadwal yang begitu padat membuat saya selalu memutuskan untuk menunda kunjungan ke beliau. Hal ini terjadi berulang kali, kondisi fisik yang semakin lemah membuat ibu itu sering menjalani rawat inap, dan saya tidak pernah sekalipun menjenguknya. Sebenarnya dalam hati kecil, saya pun merasa bersalah dan berdosa pada beliau, karena tidak mau menyediakan waktu untuk beliau. Hingga akhirnya ketika saya mendapat kabar beliau masuk rumah sakit lagi dan kondisinya semakin parah, saya memutuskan untuk mengunjungi beliau. Sungguh saya tidak pernah menyangka bahwa kedatangan saya membuat beliau menitikkan airmata.
Sambil memegang tangan saya, beliau berkata lemah dan terisak, "Kamu kok sombong sih, tidak pernah menjenguk ibu."
"Ibu kangen sama kamu, beberapa kali ibu berusaha menghubungi tapi nomor handphonemu tidak aktif, ibu sms pun tidak masuk." lanjutnya.
Tidak sadar airmata saya menetas mendengar kata-kata yang terucap lemah dari mulut beliau,. Saya tidak berani menatap beliau karena rasa bersalah semakin besar tumbuh di hati saya. Dengan erat saya menggenggam tangannya dan menatap tubuhnya yang dulu berisi tapi sekarang tampak kurus.
Lalu dengan menguatkan hati saya berkata, "Maaf kan saya bu."
"Tidak apa-apa, melihat kamu sekarang ada di sini ibu bahagia. Tapi janji yah setelah ibu keluar dari rumah sakit, kamu harus bawa ibu jalan-jalan. Dulu kan kamu sering mengajak ibu jalan-jalan, ngopi-ngopi sambil bercerita dan belanja bareng. Meskipun saat itu kita masih kekurangan uang, tapi kamu selalu bilang, jangan khawatir karena sudah ada dana cadangan untuk dinikmati." kata beliau sambil tersenyum, sorot matannya seakan-akan dipenuhi oleh kenangan-kenangan yang ia inginkan kembali.
"Saya janji bu, ibu harus sehat, harus kuat, agar kita bisa keliling bersama lagi. Saya pasti ajak ibu jalan-jalan. Hubungi saya deh setelah ibu sehat." kata saya berusaha menguatkan beliau sambil memberikan nomor handphone saya.
Sekilas terbayang terbayang di benak saya saat-saat kami masih sering bersama, saya sering memaksa beliau untuk menyisihkan sebagian uang untuk dinikmati, karena bagi saya itu penting agar tidak stress, namun harus disesuaikan dengan kondisi.
"Oh yah jangan lupa ajak Maria yah, dia kan anggota geng kita juga." kali ini beliau berkata sambil tertawa kecil dan terdengar bersemangat.
Sayapun ikut tertawa, Maria adalah sahabat kami yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri, orangnya lucu dan baik hati.
Seminggu kemudian, sebuah sms yang saya terima membuat saya sangat terpukul, anak ibu itu memberi kabar bahwa si ibu meninggal dunia.
Kesedihan yang mendalam menyelubungi hati saya, sambil menahan tangis saya menghubungi Maria dan bercerita betapa menyesalnya saya selalu menunda waktu selama ini, hingga tidak bisa berbagi kebahagiaan dengan sang ibu.
Setelah kejadiaan tersebut, saya terus berkata pada diri sendiri seandainya saya begini, seandainya saya begitu, mungkin saya tidak akan sesedih sekarang, namun akhirnya saya tahu bahwa kesalahan terbesar saya adalah tidak mengatur waktu dengan baik, hanya melihat bahwa pekerjaan saya lah yang lebih penting.
Namun penyesalan tidak akan pernah mengubah kembali sesuatu yang telah terjadi. Satu hal yang petik dari pengalaman ini yaitu saya tidak boleh menunda-nunda waktu karena manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi didepannya. Dalam hitungan detik segala sesuatu dapat saja berubah, dan dapat membuat kita menyesal.
Dalam hidup ini, manusia harus melihat bahwa ada bagian-bagian yang memang harus dijalani sebagai makhluk sosial yaitu hubungan dengan Tuhan, keluarga, sahabat, pekerjaan, dan orang lain. Semuanya penting, oleh karena itu setiap manusia harus bisa mengatur dengan baik waktu yang dimilikinya agar tidak kehilangan moment-moment berharga dari semua hubungan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar